BERITA TERKINI

6/recent/ticker-posts

Saya dan Bang Sahala Tua Saragih





Sahala Tua Saragih sekitar 3 tahun yang lalu. Sebelum membekali 80 mahasiswa Jurnal 2019 yg sedang mengikuti pekan OJ (Orientasi Jurnal) di Ruang Moestopo, kampus Fikom Unpad, Rizki Gaga (Redaktur Kolaborasi Kumparan.Com, mantan wartawan MBM Tempo, Jurnal 2006, Kelas Pagi, Kampus Dago Pojok) singgah sekejap ke ruang Prodi Jurnal. Jatinangor, Rabu, 4-3-2020. Foto: Mahasiswi Jurnal 2018 (entah siapa namanya, yg pasti geulis).


Saya dan Bang Sahala
Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.

Bang Sahala: "Kalian sedang apa?"
Kami: "Sedang rapat, Bang."
Bang Sahala: "Kok tidak rapat?"
MAKSUD BANG SAHALA -> RAPAT ADALAH HAMPIR TIDAK BERANTARA, DUDUK BERDEKAT-DEKATAN.
ADVERTISEMENT

Bang Sahala: "Sudah makan siang?"
Kami: "Sudah, bang."
Bang Sahala: "Memangnya siang bisa dimakan?"
MAKSUD BANG SAHALA -> YANG DIMAKAN ADALAH "NASI" BUKAN "SIANG".

Bang Sahala: "Sebelum kita mulai perkuliahan ini, yang punya ponsel harus dimatikan."
Kami: *mematikan (atau mengaktifkan silent mode) ponsel.
Bang Sahala: "Kenapa kalian mematikan ponsel?"
MAKSUD BANG SAHALA -> PERHATIKAN DONG: "YANG PUNYA PONSEL" HARUS DIMATIKAN, ARTINYA ORANG YANG PUNYA PONSEL DIBUAT MATI (DIBUNUH).

Seperti itulah lelucon Bang Sahat Sahala Tua Saragih, sang dosen legendaris di Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad). Bermain-main dengan logika bahasa.

Sudah delapan tahun saya tidak bertemu beliau. Maka, "ruang dosen jurnalistik" jadi tempat yang pertama saya sambangi setibanya di kampus Unpad, Rabu pekan lalu.

Untunglah. Kendati ini sudah lewat jam tiga sore, beliau masih ada di "meja dosen"-nya, sedang mengkasak-kusuki entah apa.

"Bang!" kata saya, yang buru-buru sadar bersuara seperti meneriaki maling. Maklum, terlalu semringah.
Beliau bangkit dari kursi. Kami bersalaman, berangkulan, berpelukan. 

"Kita terakhir ketemu tahun 2011 di ruangan dosen di Dago Pojok," kata saya. Beliau baru mengingatnya setelah mendengar kalimat ini: "Saya waktu itu curhat, gaji wartawan kok kecil banget."
Dus, ingatan kami terlontar ke atas, menembus langit Jatinangor yang basah, jauh, ke Dago Pojok tempat saya berkuliah.

Perbincangan sudah ke mana-mana dan yang saya perhatikan justru uban di kepalanya. Rupanya, benar-benar bisa "tua" juga beliau.

"Dari sela kancingan lengan panjang bajunya, sesekali terlihat menyembul arloji logam. Entah Seiko atau Citizen. Yang pasti selera orang tua seumuran Pak Sahala."

- Wendiyanto Saputro, senior saya yang jadi Pemimpin Redaksi kumparanbisnis, dalam buku "Mereka dan Bang Sahala"

"Bang," kata saya. "Saya satu-satunya cowok di angkatan saya yang dapat A untuk semua mata kuliah Abang."

Mata beliau berbinar-binar. 
Saya melanjutkan, "Saya boleh juga, lho, disebut sebagai Sarjana Sahala."
Kami terbahak.

***
Salah satu mata kuliah tersadis adalah Penulisan Berita Mendalam yang diampu beliau. Ini bukan hanya latihan jadi wartawan tapi juga latihan bertemu redaktur perfeksionis.

Sebelum ke "tugas akhir"-nya, para mahasiswa harus melahap lima buku. Pilihan saya: Andreas Harsono (buku Jurnalisme Sastrawi), John Hersey (Hiroshima, Ketika Bom Dijatuhkan), Septiawan Santana (Jurnalisme Investigasi), Yuyu Krisna (Menyusuri Remang-remang Jakarta), Hiley H. Ward (Reporting In Depth).

Saat tugas pamungkas tiba, saya jungkir-balik meliput hingga lahirlah tulisan berjudul Buah Simalakama Bernama Perda K3. Sebuah tulisan mendalam ihwal peraturan daerah di Bandung yang perencanaan maupun eksekusinya serbakacau.

Saking gilanya tugas satu ini, sehari usai pengumpulan naskahnya kami namai Hari Kebebasan Pers yang artinya berakhir sudah "teror Sahala" seumur hidup kami.

Rasa lega memenuhi hati dan badan yang penuh keringat. Setelah hari itu, saya dan teman-teman satu kelas bercanda dengan menyebut hari itu sebagai "Hari Kebebasan Pers."

- "Tugas Refleksi" saya dalam mata kuliah Penulisan Berita Mendalam

Sudah sebegitu habisnya saya dibantai beliau, tapi apa jawaban saya satu semester kemudian waktu ditanya mau siapa dosen pembimbing skripsi, saya jawab: "Saya mau Sahala." Jadilah beliau yang membimbing saya hingga gerbang kelulusan.
***
Beliau membuka lemari lalu mengambil satu buku berjudul Mereka dan Bang Sahala.
"Untukmu," kata beliau. "Salam kangen untuk anak-anak lulusan Dago Pojok."
Di buku itu, beliau menuliskan kata-kata yang membuat saya terenyuh.

Buat sahabatku yth,
Rizki Gaga
Tetaplah menjadi wartawan profesional!

(ttd)

- Jatinangor, 4-3-2020

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar